1. Sembilangan dan Sara di Ujung Barat Madura
Tempat pertama yang dikunjungi jika rombongan wisata religi yang berangkat dari Kamal adalah Buju’ -Makam- Sembilangan. Lokasi Buju’ ini adalah berada di dekat objek wisata menara mercusuar Bangkalan. Buju Bilangan -begitu masyarakat Bangkalan menyebutnya- ini berada di tengah kompleks pondok pesantren yang juga bernama pondok pesantren Sembilangan. Tempat ini hanya beberapa meter dari bibir pantai ujung barang pulau Madura. Menurut kabar, Buju’ ini ada hubungannya dengan Buju’ yang ada di Batu Ampar.
Buju’ Sembilangan ini berada di sebelah utara Masjid Pondok Sembilangan. Di kompleks pemakamannya ada pohon besar menjulang tinggi. Kalau dilihat umurnya sudah ratusan tahun. Seutas kain putih dengan bordiran huruf Arab bertuliskan Syekh H. Abd. Karim menutupi nisannya. Di dekat makam dibangun tempat untuk peziarah dengan kemarik putih lengkap dengan atap yang melindungi peziarah dari hujan. Di samping makam juga ada kolam yang sepertinya sudah sangat tua. Terlihat airnya sudah keruh dan tidak pernah digunakan lagi.
Ke timur arah Buju’ ini, sekitar 20 menit perjalanan menggunakan mobil sampailah di Buju’ Sara. Kawasan ini sangat unik. Letaknya dikelilingi tambak yang sudah mengering karena memang masih berada di kawasan pesisir barat pulau Madura. Buju’ Sara ini mempunyai keunikan yang tidak ditemukan di Buju’ dimanapun. Di depan Buju’ ada sebuah gardu menjulang tinggi seperti untuk mengintai musuh. terbuat dari kayu yang masih kuat sampai sekarang. Di pintu gerbang terdapat patung Pancasila yang seolah menyambut peziarah yang memasuki kawasan ini, sebuah replika Ka’bah di tengah-tengah halaman, dua patung harimau dan meriam seperti penjaga kawasan ini dari serangan musuh.
Di dalam ada tiga makam berjejer. Sebuah kaca hitam dengan tulisan Arab tertulis paling timur, Sayyid Abdullah di tengah ada makam Siti Maisyaroh dan paling kiri tertulis Sayyid Syarifudin. Di belakang makam ini ada sebuah batu yang konon digunakan untuk bertapa.
2. Syaikhona Kholil Sang Pencetak Waliyullah dari Bangkalan
Sebuah masjid besar nan megah dengan Kubah yang berwarna emas, mengingatkan kita pada kubah Masjidil Aqsa di Palestina. Terletak di Desa Mertajasah ke arah barat alun-alun Bangkalan.
Dahulunya di sekitar masjid ini masih menyatu dengan pondok pesantren, namun karena semakin banyak peziarah yang berkunjung setiap harinya, kawasan wisata religi di Syaikhona Kholil ini direnovasi sehingga tampak seperti saat ini. Pohon-pohon kurma yang ditanam dipinggir-pinggir jalan semakin melengkapi keindahan kawasan ini. Serasa ada di kawasan timur tengah. Tepat di bawah masjid ini bersemayam wali Allah yang termahsyur dari Madura.
Syaikhona Kholil. Sang pencetak waliyullah dari Bangkalan. Konon menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi imam di masjid Makkah Al Mukarromah. Berikut peninggalan beliau yang bermanfaat bagi umat sampai sekarang:
- Pesantren Jangkibuan. Pesantren ini terus aktif sampai kini dan diasuh oleh keturunan Nyai Khotimah bin Kholil dengan Kiai Thoha. Pesantren ini diberi nama Pesantren Al-Muntaha Al-Kholilia.
- Pesantren Kademangan. Sepeninggal Syekh Kholil, pesantren ini diasuh oleh keturunan beliau sendiri. Saya mendapatkan tiga nama urutan pengasuh Pesantren Kedemangan, yaitu Kiai Abdul Fattah bin Nyai Aminah binti Nyai Muthmainnah binti Imron bin Kholil, kemudian Kiai Fakhrur Rozi bin Nyai Romlah binti Imron bin Kholil, kemudian Kiai Abdullah Sachal bin Nyai Romlah binti Imron bin Kholil.
- Kitab As-Silah fi Bayanin-nikah?. Sebuah kitab tentang pernikahan, meliputi segi hukum dan adab. Dicetak oleh Maktabah Nabhan bin Salim Surabaya.
- Rangkaian Shalawat. Dihimpun oleh KH. Muhammad Kholid dalam kitab I’anatur Roqibin dan dicetak oleh Pesantren Roudlotul Ulum, Sumber Wringin, Jember. Jawa Timur.
- Dzikir dan wirid. Dihimpun oleh KH. Mushthofa Bisri, Rembang, Jawa Tengah, dalam sebuah kitab berjudul Al-Haqibaha.
Ornamen di luar dan di dalam masjid membuat semua peziarah yang hadir terpesona dan tidak berhenti melihat ke setiap sudut masjid. Tempat dimakamkannya seorang kiai yang mencetak tokoh-tokoh besar di negeri ini. Tokoh yang melahirkan organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama.
3. Hutan di Atas Bukit
Sebuah makam penyebar agama Islam juga terdapat di kecamatan Geger, Bangkalan. Terletak di daerah pegunungan membuat suasana berbeda pada tempat yang satu ini. 40 menit perjalanan dari Masjid Syaikhona Kholil menuju ke timur tepat ke arah utara setelah pasar Tanah Merah. Suasana pegunungan langsung menyeruak ketika rombongan memasuki kawasan ini.
Sejarahnya, ini adalah daratan pertama Pulau Madura. Awalnya dahulu Madura hanya bongkahan karang yang seolah muncul dari dalam laut. Dan bongkahan karang itu sekarang berubah menjadi sebuah bukit yang juga tempat bersemayam beberapa penyebar agama Islam. Bukit itu bernama Bukit Geger.
Untuk sampai di atas bukit tempat Potre Koneng, Sayyid Ali Abu Nakhas, dan Sayidah Juharia dimakamkan harus menempuh ratusan anak tangga. Dahulunya anak tangga ini masih berupa batu, tapi sekarang sudah dibangun sehingga jalan akses dari bawah ke atas bukit sangat nyaman lengkap dengan pagar yang melindungi peziarah dari terpeleset ke tepi bukit.
Sampai di atas kita akan disambut oleh beberapa kawanan monyet yang menjadi penghuni setia bukit ini. Beberapa pohon masih tumbuh besar dan terpelihara, sehingga terkesan seperti hutan di atas bukit.
4. Aer Mata, Makam Raja-Raja Bangkalan
Sekitar 30 menit perjalanan menyusuri indahnya pedalaman Bangkalan, selanjutnya bergerak ke kecamatan Arosbaya. Sebuah gerbang bercat putih dan hitam berornamen khas Bangkalan, Madura dengan tulisan Aer Mata.
Harus menempuh beberapa anak tangga untuk sampai di makam para Raja-Raja Bangkalan terdahulu. Suasana di area pemakaman terlihat begitu bersih, udara sejuk menembus kulit. Memang daerah ini berada di atas perbukitan.
Desain ornamen pada batu yang berada di sisi utara batu nisan membawa seolah kembali ke masa lalu.
Makam Aer Mata ini dilakukan pemugaran terakhir kalinya pada 28 Maret 1987 dan diresmikan langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia saat itu Prof. Dr. Fuad Hassan.
Sejarah terbentuknya Makam Aer Mata, silahkan
klik.
5. Buju’ Panaongan, Pasongsongan di Sumenep (Ditemukan Setelah Terkubur Ratusan Tahun)
Setidaknya butuh waktu tiga jam dari Arosbaya untuk menuju Buju’ Panaongan, Pasongsongan di Sumenep. Pantai utara Madura memang sangat indah, sepanjang perjalanan sesekali birunya lautan terhampar di depan mata. Jalan akses tidak terlalu buruk, meski bergelombang namun karena bukan jalan utama.
Sebuah gapura bertuliskan Buju’ Panaongan yang sudah sedikit luncur catnya terpampang di depan jalan raya. Di sekitar kawasan yang terlihat hanya pohon kelapa yang menjulang tinggi.
Hanya ada sebuah papan putih berbentuk persegi panjang yang menuliskan beberapa nama yang menjadi nama-nama ulama yang dimakamkan di tempat ini. Tertulis di papan itu Syekh Al-Arif Abu Sa’id yang wafat pada tahun 1292 M, Syekh Abu Sukri yang wafat pada tahun 1281 M, Kyai Ruwiyah wafat pada tahun 1328 M, Kyai Abu Mutthalif (tanpa tahun), Kyai Al Haj Abdul Karim (tanpa tahun), Nyai Ummu Nanti wafat pada 1820 M, Nyai Sarmi wafat pada 1847 M, Nyai Ma’ruf (tanpa tahun) dan Nyai Ummu Sarufi yang tulisan tahunnya tidak jelas terlihat.
6. Asta Tinggi di Sumenep
Makam para raja-raja Sumenep, Asta Tinggi. Dari daerah ini terlihat kabupaten Sumenep dari atas bukit. Memang Asta Tinggi terletak di atas dataran tinggi di utara kabupaten Sumenep. Di kawasan ini kita diajak masuk ke tempo dulu dengan beberapa arsitektur kerajaan Sumenep, gabungan arsitektur Belanda, Inggris dan Madura begitu kental terlihat dari beberapa pintu gerbang yang kokoh berdiri tegap di dalam kompleks Asta Tinggi.
Asta tinggi sendiri menurut arti Etimologi adalah makam yang tinggi. Itu berdasar dari letak makam yang berada di puncak bukit dan penamaan Asta Tinggi sebenarnya hanya untuk mempermudah penyebutan saja. Di Asta Tinggi sendiri bukan hanya terdapat makam dari raja namun juga makam dari keluarga-keluarga raja, sentana, dan punggawa sejak abad XVI. Orang banyak berziarah kesini karena raja-raja sumenep juga dikenal karena kewaliannya karena perduli terhadap perkembangan Islam di daerah Sumenep dan sekitarnya.
Makam pertama yang ada di Asta Tinggi adalah makam dari R. Mas Pangeran Anggadipa yang merupakan seorang adipati. Makam perempuan di samping beliau adalah makam dari istri beliau yang bernama R. Ayu Mas Ireng, R. Ayu Mas Ireng sendiri adalah putri dari Panembahan Lemah Duwur. Dulu pada awalnya Asta Tinggi tidak memiliki pagar hanya rimba belantara dan batuan terjal. Untuk menghormati Pangeran Anggadipa dan istrinya Pangeran Rama yang ketika itu menjabat sebagai adipati Sumenep membangun pagar hanya dengan batu-batu yang disusun rapi. Asta Tinggi sendiri memiliki dua bagian dimana bagian barat memiliki corak Jawa. Di bagian timur sendiri lebih didominasi oleh corak Cina, Eropa, Arab dan Jawa. Pembangunannya sendiri berlanjut dari masa pemerintahan Panembahan Notokusumo I Asirudin dan Sultan Abdur Rahman yang tidak lain dan tidak bukan adalah putranya, dan masih berlanjut lagi di masa pemerintahan Panembahan Moh. Saleh.
7. Menyeberangi Selat, Ziarah Ke Makam Sayyid Yusuf
Di kawasan
Telango ada sebuah Buju’ yang merupakan tempat dimakamkan
Sayyid Yusuf.
8. Batu Ampar, Buju Tersohor di Pamekasan
Perjalanan dari ujung timur Pulau Madura menuju kawasan Batu Ampar ini ditempuh dalam jangka waktu dua jam. Letak geografisnya berada di Pegunungan.
Buju’ di Batu Ampar ini, seperti Syekh Abd. Mannan (Buju Kosambi), Buju’ Latthong, Buju’ Tompeng, Syekh Husen.
9. Sunan Cendana
Lokasi makam
Sunan Cendana berada di Kecamatan
Kwanyar,
Bangkalan.
10. Sayyid Abdul Jalil Lalam (Buju' Deppak)Lokasi makam dan Langgard Tiban
Sayyid Abdul Jalil Lalam di Dusun Deppak, Desa Embul, Kecamatan Torjun, Kabupaten Sampang, Madura
11. Asta Gumuk Pasarean K. Ali Waliyullah Brambang - Sumenep Di sebuah Kecamatan Kalianget, desa Kalimo’ok tepatnya di Sebelah timur lapangan terbang Trunojoyo Sumenep terdapat makam atau kuburan/Asta K. Ali Brambang. Mengapa dikatakan Brambang, karena terletak di dusun Brambang.
K. Ali Brambang mempunyai silsilah dari
Syekh Maulana Sayyid Ja’far As Shadiq atau dikenal dengan
Sunan Kudus yang mempunyai keturunan Pang. Katandur yang mempunyai empat anak yaitu: K. Hatib Paddusan, K. Hatib Sendang, K. Hatib Rajul, K. Hatib Paranggan. Dari Putra pertamanya diberi keturunan K. Ali Brambang yang wafat 1292 H.
Selengkapnya.
Para pengunjung yang budiman, apabila masih ada ulama dan wali yang belum tercantum dalam daftar tersebut di atas, silahkan tambahkan dengan mengisi komentar.
Sebagian biografi perjalanan ulama dan wali tersebut diatas telah di posting di Web Mistikus Cinta.
Sekian terima kasih atas perhatiannya.