Sabtu, 09 April 2016

Hukum Menghadiahkan Pahala Dan Matinya Anak Yang Belum Baligh

                                    Hukum Menghadiahkan Pahala Dan Matinya Anak Yang Belum Baligh
                                                                                بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
Tidak kita temui pada kebiasaan para ulama salaf, jika mereka melakukan shalat, puasa, haji, atau membaca Al Qur’an; mereka menghadiahkan pahala amalan mereka kepada kaum muslimin yang sudah mati atau kepada orang-orang yang istimewa dari kaum muslimin. Bahkan kebiasaan dari salaf adalah melakukan amalan yang disyari’atkan. Oleh karena itu, setiap orang tidak boleh melampaui jalan hidup para salaf karena mereka tentu lebih utama dan lebih sempurna dalam beramal. Wallahu a’lam.” –Demikian penjelasan Syaikhull Islam Ibnu Taimiyah.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmehMOS3QLEznzmvnnpMVT0Rf01-o8EqI9tgG_E308rCE5_eSJSEX7E_fcL0WQ_Wv0usLlfx58mXoYTYeFH8bpdJXdiDxalQ_KFfY_-1bh5oxTtobxk1lGybImHqutXPcVTvHbXcqdEd2C/s1600/meninggalnya+anak+belum+dewasa.jpg

1. Mayat Beroleh Pahala Dari investasi/Kontribusinya
Suatu hal yang disepakati ialah bahwa mayat akan beroleh manfaat dari hal-hal yang menjadi sumber kebaikan  yang dilakukan selagi hidupnya.

1. Berdasarkan pada hadits  yang diriwayakan oleh Muslim dan Ash-Habus Sunan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. bersabda:  إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ، صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يَنْتَفِعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ “Jika Anak Adam meninggal maka terputus ‘amalnya kecuali dari 3 (perkara) : Shodaqoh jariyah, ‘ilmu yang bermanfaat, dan anak Sholeh yang berdo’a baginya”

2. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah daripadanya bahwa Nabi saw. bersabda: " Diantara amalan dan kebaikan-kebaikan yang akan menghubungi seorang Mukmin setelah meninggalnya ialah ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak yang shaleh yang ditinggalkannya, mushaf Al-Qur'an yang diwariskannya, mesjid yang didirikannya, rumah yang dibangunnya buar musafir, terusan yang digalinya, atau sedekah yang dikeluarkannya dari hatanya selagi sehat dan hidupnya, semuanya itu akan terus menghubunginya setelah kematian."

3. Dan diriwayatkan pula dari Jureir bin Abdullah bahwa Nabi saw. bersabda: مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْء "Barangsiapa yang memelopori suatu sunnah yang baik dalam Islam, maka ia akan beroleh pahalanya dan pahala dari orang-orang yang mengerjakannya setelah itu, tanpa kurang nilainya sedikit pun. Sebaliknya barang siapa yang mencontohkan dalam Islam contoh yang jelek, maka ia akan menerima dosanya, berikut dosa dari orang -orang yang mengerjakannya setelah itu, tanpa krang beratnya sedikit pun."[ H.R. Muslim (no. 1017].

2. Hal-Hal Yang Bermanfaat Bagi Mayat Dari Amal  Orang Lain
Allah Ta’ala berfirman,
وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An Najm: 39).

Dari ayat ini, sebagian ulama mengatakan bahwa usaha orang lain tidak akan bermanfaat bagi si mayit. Namun pendapat ini adalah pendapat yang kurang tepat. Syaikh As Sa’di mengatakan bahwa ayat ini hanya menunjukkan bahwa manusia tidaklah mendapatkan manfaat kecuali apa yang telah ia usahakan untuk dirinya sendiri. Ini benar dan tidak ada perselisihan di dalamnya. Namun ayat ini tidak menunjukkan bahwa amalan orang lain tidak bermanfaat untuk dirinya yaitu ketika orang melakukan amalan untuknya. Sebagaimana pula seseorang memiliki harta yang ia kuasai saat ini. Hal ini tidak melazimkan bahwa dia tidak bisa mendapatkan harta dari orang lain melalui hadiah yang nanti akan jadi miliknya. Namun perlu diperhatikan di sini, amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit itu juga harus ditunjukkan dengan dalil dan tidak bisa dikarang-karang sendiri. Jadi tidak boleh seseorang mengatakan bahwa amalan A atau amalan B bisa bermanfaat bagi si mayit, kecuali jika jelas ada dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang menunjukkan hal tersebut.

Amalan-amalan yang bisa bermanfaat bagi si mayit adalah sebagai berikut.

    Berdoa dan memohon keampunan baginya, ini disetujui secara ijma’ berdasarkan firman Allah Ta’ala:
    وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإيمَانِ وَلا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“. (QS. Al Hasyr: 10) 

Dan telah kita sebutkan di muka sabda Rasulullah saw.: “Jika kamu menyalatkan mayat, berdoalah dengan tulus untuk mereka !” Juga , bahwa diantara doa Rasulullah saw. diantaranya ialah: “Oh Tuhan, berilah keampunan bagi orang yang masih hidup maupun yang telah meninggal di antara kami... “ H.R. Ahmad, Nasa'i dan lain-lain.
   
Sedekah dan melunasi hutangnya. Nawawi telah menceritakan adanya ijma’ bahwa ia berlaku atas mayat dan sampai pahala padanya, baik ia berasal dari anak maupun dari lainnya. Berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan lain-lain dari Abu Hurairah r.a.: "Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasululah saw.: 'Bapakku meninggal dunia, dan ada meninggalkan harta serta tidak meninggalkan wasiat. Apakah dapat menghapus dosanya bila saya sedekahkan ?" Ujar Nabi saw.: "Dapat!" Dan diterima dari Hasan yang diterimanya dari Sa’ad bin Ubadah: "Bahwa ibunya meninggal, maka tanyanya kepada Rasulullah saw.: 'Ya Rasulullah, ibuku meninggal, dapatkah saya bersedekah atas namanya? Ujarnya: 'Dapat'! lalu ujarnya lagi: "Sedekaah manakah yang lebih utama'? Ujarnya: 'Menyediakan air' Kata Hasan: 'Itulah dia penyediaan air dari keluarga Sa'ad di Madinah."  Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan seorang mayit yang masih memiliki utang, kemudian beliau bertanya, “Apakah orang ini memiliki uang untuk melunasi hutangnya?” Jika diberitahu bahwa dia bisa melunasinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menyolatkannya. Namun jika tidak, maka beliau pun memerintahkan, “Kalian shalatkan aja orang ini.”
  
 Tatkala Allah memenangkan bagi beliau beberapa peperangan, beliau bersabda,
    أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّىَ وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَهُوَ لِوَرَثَتِهِ
    “Aku lebih pantas bagi orang-orang beriman dari diri mereka sendiri. Barangsiapa yang mati, namun masih meninggalkan utang, maka aku lah yang akan melunasinya. Sedangkan barangsiapa yang mati dan meninggalkan harta, maka itu untuk ahli warisnya.” Hadits ini menunjukkan bahwa pelunasan utang si mayit dapat bermanfaat bagi dirinya.
    Sedangkan apakah pelunasan utang si mayit di sini wajib ataukah tidak, di sini ada dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah. Sebagian ulama mengatakan bahwa wajib dilunasi dari baitul maal. Sebagian lagi mengatakan tidak wajib
    Dan tidaklah disyariatkan mengeluarkan sedekah itu di pekuburan, dan makruh hukumnya bila dikeluarkan beserta jenazah.
    Puasa. Berdasarkan  apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas, katanya: "Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah saw. katanya: 'Ya Rasulullah, ibku meninggal dunia, sedang ia mempunyai kewajiban berpuasa selama sebulan. Apakah akan saya kadha atas namanya'? Ujar Nabi saw. 'Jika ibunya mempunyai utang apakah akan kamu bayarkan untuknya'?  'memang', ujarnya. 'Nah', kata Nabi saw., 'maka utang , kepada Allah lebih layak untuk dibayar'!" Pendapat yang mengatakan bahwa qodho’ puasa bermanfaat bagi si mayit juga dipilih oleh Abu Tsaur, Imam Ahmad, Imam Asy Syafi’i, pendapat yang dipilih oleh An Nawawi, pendapat pakar hadits dan pendapat Ibnu Hazm. Dalil dari pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah,مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
    “Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki kewajiban puasa, maka ahli warisnya yang nanti akan mempuasakannya. ” Yang dimaksud “waliyyuhu” adalah ahli waris
    Haji. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas r.a.:"Bahwa seorang wanita dari Juhainah datang kepada Nabi saw. lalu bertanya: 'Ibuku bernadzar akan melakukan haji, tapi belum juga dipenuhinya sampai ia meninggal. Apakah akan saya lakukan haji untuknya '? Ujar Nabi saw. : 'Ya, lakukanlah ! Bagaimana pendapatmu seandainya ibumu berutang, apakah akan kamu bayar? Bayarlah, karena Allah lebih layak untuk menerima pembayaran!"
    Shalat. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni: "Bahwa seorang laki-laki bertanya :"Ya Rasulullah, saya mempunyai ibu dan bapak yang selagi mereka hidup saya berbakti kepadanya. Maka bagaimana caranya saya berbakti kepada mereka, setelah mereka meninggal dunia'? Ujar Nabi saw.: 'Berbakti setelah mereka meninggal, caranya ialah dengan melakukan shalat untuk mereka disamping shalatmu, dan berpuasa untuk mereka disamping puasamu'!"
    Membaca Al-Qur’an. Ini merupakan pendapat jumhur dari golongan Ahlus Sunnah. Berkata Nawawi: “Yang lebih terkenal dari madzhab Syafi’i, bahwa pahalanya tidaklah sampai pada mayat, sedang menurut Ahmad bin Hanbal dan segolongan sahabat dari sahabat-sahabat Syafi’i, sampai kepadanya, Allahu a’lam.

Catatan: Yang dimaksudkan kirim pahala dari amalan badaniyah ataupun maliyah sebagaimana yang dibolehkan oleh sebagian ulama bukanlah dengan mengumpulkan orang-orang lalu membacakan surat tertentu secara berjama’ah dan ditentukan pula pada hari tertentu (semisal hari ke-7, 40, 100, dst). Jadi tidaklah demikian yang dimaksudkan oleh para ulama tersebut. Apalagi kalau acara tersebut diadakan di kediaman si mayit, ini jelas suatu yang terlarang karena ini termasuk acara ma’tam (kumpul-kumpul) yang dilarang. Seharusnya keluarga mayit dihibur dengan diberi makan dan segala keperluan karena mereka saat itu dalam keadaan susah, bukan malah keluarga mayit yang repot-repot menyediakan makanan untuk acara semacam ini.


3. Hadiah Yang Lebih Utama Bagi Mayit
Berkata Ibnul Qayyim: “Ada yang berpendapat bahwa yang lebih utama ialah apa yang lebih bermanfaat ditinjau dari perbuatann itu sendiri.

    Sedekah yang utama. Maka membebaskan budak dan bersedekah atas nama mayat, lebih utama dari berpuasa. Sedang sedekah yang lebih utama ialah yang sesuai dengan kebutuhan orang yang diberi sedekah, serta tahan dan berkepanjangan. Dianataranya ialah sabda Nabi saw.:’Sedekah yang lebih utama ialah mengadakan pernyediaan air’. Ini berlaku di daerah yang kekuarangan air hingga amat memerlukan air minum. Jika tidak, maka menyediakan air di daerah bersungai dan banyak selokan, tidaklah lebih utama lagi dari memberi makan di masa paceklik.

    Do'a yang utama. Begitupun berdoa dan memohonkan keampunan baginya, misalnya di waktu shalat jenazah dan ketika berdiri menadahkan tangan di kuburnya. Jika dilakukan dengan sungguh-sungguh, disertai ketulusan dan merendahkan diri dari pihak yang berdoa, maka dalam suasana demikian, adalah lebih utama dari bersedekah atas namanya. Kesimpulannya: Yang lebih utama dihadiahkan kepada mayat ialah membebaskan budak, bersedekah, berdoa dan memohonkan keampunan serta mengerjakan haji untuknya."



4. Jenazah Anak-Anak Yang Orang Tuanya Muslim Dan Musyrik

    Anak Orang Muslim masuk surga. Setiap anak orang Islam yang meninggal dalam keadan belum baligh, akan beroleh tempat dalam surga. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari ‘Adi bin Tsabit, bahwa ia mendengar Barra’ r.a. berkata: “Tatkala Ibrahim a.s. – yakni putra Nabi saw. – wafat, Nabi saw. bersabda: “Ia akan beroleh tempat menyusu dalam surga.” Berkata Hafizh dalam Al-Fath: “Maksud Bukhari mengemukakannya dalam bab ini ialah untuk mengisyaratkan bahwa anak-anak Islam itu masuk surga." Dan diriwayatkan pula dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Setiap orang Islam yang tiga orang anaknya yang belum baligh meninggal dunia, akan dimasukkan Allah ke dalam surga, disebabkan kasih sayang-Nya kepada anak-anak itu.”
   
Anak-anak orang Musyrik juga masuk surga. Adapun anak-anak orang musyrik, mereka juga jadi penduduk surga sebagaimana halnya anak orang-orang Islam. Berkata Nawawi: “Inilah di madzhab yang sah dan pilihan yang dianut oleh para peneliti, berdasarkan firman Allah Ta’ala:  (Q.S. Al-Isra’: 15). Maka seandainya orang yang berakal tidak disiksa karena belum menerima dakwah, apalagi orang yang tidak berakal. Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Khansa’ binti Mu’awiyah bin Sharim yang diterimanya dari pamannya, ceritanya: “Saya bertanya: ‘Ya Rasulullah, siapakah penghuni surga itu’? Ujar Nabi saw.:  ‘Nabi adalah penghuni surga, orang yang mati syahid penduduk surga, dan anak kecil juga penduduk surga.”

          ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ﺃَﺷْﻬَﺪُ ﺃَﻥْ ﻻَ ﺇِﻟﻪَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺃَﺳْﺘَﻐْﻔِﺮُﻙَ ﻭَﺃَﺗُﻮْﺏُ ﺇِﻟَﻴْﻚ           
“Maha suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Engkau. Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.”
Sebarakan !!! insyaallah bermanfaat.
Sumber: Fikih Sunnah 4, hal.211 -221. Sayyid Sabiq., Penerbit Al-Ma'arif, Bandung.
***



Kitab Fiqih Sunnah adalah salah satu kitab Fiqih terbaik di dunia, sehingga tak heran jika fikih menjadi salah satu disiplin ilmu yang paling banyak ditulis dan diperbincangkan oleh umat Islam. Hampir ratusan ribu buku fikih ditulis oleh para ulama muslim. Salah satu buku fikih paling fenomenal dan menjadi best seller hampir di seluruh negara, terutama negara muslim dan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, adalah kitab Fiqih Sunnah, karya Sayyid Sabiq. Pada 1994 berkat buku Fiqih Sunnah karya beliau, Sayid Sabbiq memperoleh penghargaan King Faisal Prize dalam bidang kajian Islam. Pada kitab Fiqih Sunnah karya Syekh Sayyid Sabiq ini merupakan rujukan berbagai masalah fiqih. Di dalamnya, berbagai masalah fiqih yang berlandaskan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama, dikupas dari berbagai prespektif dengan landasan yang detail, namun tanpa menafikan pendapat-pendapat yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar